Selasa, 07 Februari 2017

Summit di Gunung Marapi & Singgalang

Summit
@ Gn Marapi & Gn Singgalan

Puncak ;p
Semenjak film 5cm yang diadaptasi dari buku best seller tulisan Donny Dirgantoro sukses tayang di bioskop tanah air, tidak dipungkiri aktivitas naik gunung menjadi sebegitu populer di kalangan generasi milenial beberapa tahun belakangan. Termasuk saya. Sedari sekolah, aktivitas naik gunung paling banter saya lakukan hanya treking di lereng-lerengnya saja. Namun keinginan untuk merasakan "pernah" dipuncak selalu ada sejak lama. 

Medan Turun dari Puncak
Sejujurnya aktivitas naik gunung, masuk dalam bucket list saya. Terkadang dalam hidup seseorang, pasti kita punya daftar yang ingin sekali diwujudkan kan? Buat saya termasuk naik gunung, triatlon, hunting foto underwater dan keliling Indonesia bareng keluarga adalah sebagian hal yang masih ingin saya lakukan di kemudian hari.

All Team
All Team
Singkat cerita, tanpa direncanakan sebelumnya, ajakan muncak pertama saya, datang dari komunitas pecinta alam green energy dari tempat saya bekerja di PLN Wilayah Riau dan Kepri. Karena di Pekanbaru tempat kami tinggal tidak ada gunung yang bisa didaki, pilihan muncak langsung beralih ke provinsi tetangga di Sumatera Barat tepatnya di Gunung Marapi. Beberapa pertimbangan rekan-rekan memilih Marapi karena menurut informasi, trek di jalur pendakian masih bersahabat untuk mayoritas pendaki pemula seperti kami ini.

How it feelsnya,, saya ceritakan selanjutnya setelah iklan komersial (baca: foto narsis) berikut ini :)



Pengalaman pertama summit di Marapi ternyata masih belum mengobati perasaan "pernah" di puncak yang ada di bayangan saya sebelumnya. Itu kenapa, ajakan kedua ke Gunung Singgalang yang juga masih di wilayah provinsi Sumatera Barat langsung saya iyakan. Konon, trek selama perjalanan ke Gunung Singgalang walaupun tidak setinggi Gunung Marapi, terbilang lebih ekstrem dan sulit. Ditambah dengan kondisi musim hujan pada saat kami melakukan ekspedisi ini.

Ini udah di puncak lhoo :)
Penampakan puncak Gunung Singgalangpun berbeda dengan kondisi puncak di Gunung Marapi. Bukan kawah yang akan kita temui yang disellimuti awan tebal, namun danau mati yang juga memiliki keunikan tersendiri. Sebelum sampai  ke danau, yang menarik kita juga akan melewati jalur hutan ber lumut seperti dalam film Avatar. Gunung Singgalang dengan medan pendakaian yang tidak bersahabat, tapi puncak dan jalur pendakianya memiliki pemandangan yang lebih menarik menurut saya.

Narsis Di Hutan lumut

Saya akui di ekspedisi GunungSinggalang kali ini, baru merasakan betul sulitnya perjalanan dan melawan perasaan menyerah yang selalu datang selama perjalanan. Cuaca grimis dan hujan, trek yang luar biasa sulit (untuk saya), kondisi badan yang sedari awal kurang fit, dan suasana perjalanan tidak seramah di Marapi, membuat saya berpikir Gunung Singgalang akan menjadi Summit saya yang terahir. ~a.w

Kamis, 01 September 2016

Ekowisata Rimbang Baling, Kampar, Riau #SaveRimbangBaling

#SaveRimbangBaling

Sebelum sampai bagaimana dan berapa biaya buat sampai kesana. Akan diceritakan sedikit asal usul hashtag diatas dari cerita datuk atau tetua mengenai rimbang baling.

Jadi, Rimbang Baling masyarakat sekitar menyebutnya, adalah sebutan singkat dari Bukit Rimbang dan Bukit Baling yang berletak di Kabupaten Kampar kecamatan Kampar Kiri Hulu / Hilir dan merupakan suaka margasatwa rumah bagi harimau asli sumatera serta penyangga kehidupan flora dan fauna khususnya di Sumatera. Di bukit rimbang baling terdapat beberapa desa salah satunya adalah Koto Lamo yang konon sudah ada sejak abad ke-16. Dari foto ini saya yakin, kita bisa tau tujuan dari #SaveRimbangBaling

#saverimbangbaling

Berkunjung kesini, selain cocok untuk merefresh diri dari kesibukan pekerjaan dan kehidupan perkotaan, sekaligus memiliki pesan yang mendalam untuk selalu menjaga hutan, menjaga ekosistem, menjaga kelestarian terutama dari interfensi dan ketidakberpihakan pemanfaatan hutan untuk kepentingan sebagian pemilik modal. Foto diatas adalah foto dari tempat kami menyebrang menggunakan sampan. Menurut penuturan masyarakat sekitar, penggundulan hutan di lokasi tersebut akan digunakan untuk pengembangan kebun kelapa sawit.

Ok, setelah sedikit prolog tentang asal usul hashtag #SaveRimbangBaling, berikutnya adalah sajian dari menu utama jalan-jalan kali ini. Kalo di beberapa paragraf sebelumnya dibaca dengan tensi serius dan tegang, selanjutnya bisa direset ke mode santai :)

Here We Gooo. How To Get There??

Pos pemberangkatan
Dari jalan-jalan Grup Hore ke Tesso Nilo sebelumnya, bisa dibaca di link bro ceisar, trip lanjutan kali ini kita ambil paket ekowisata 2D1N. Contact Person Mbak Budy Utamy (0821748111000) dengan tim dari Rumah Budaya Sikukeluang. Untuk biaya, publish ratenya sekitar Rp.650.000 per orang include dengan transportasi dari Pekanbaru, konsumsi dan akomodasi selama disana. Paketnya untuk 1 tim saja (min. 6 org) dan ternyata,, kami tercatat sebagai pengunjung ketiga setelah camp ini mulai dikenalkan umum. dengan jumlah peserta cukup banyak. 12 orang. Foto2 dalam perjalanan ini kebanyakan didokumentasikan dan menjadi credit title timnya Mbak Budy Utami dan rumah budaya SikuKeluang.


api unggun

menuju ke camp

body rafting di sungai Santi

suasana camp

stop transit

Kegiatan selama disana dipandu langsung oleh tim dari Mbak Budi Utami. Buat kami yang sudah jenuh dengan kegiatan kantor dan suasana kota, menepi di bukit Rimbang Baling serasa merecharge semangat selama berkegiatan weekend disini. Dan kami, sepakat untuk merekomendasikan ekowisata ini menjadi tujuan main selama di Riau.

enjoy ~a.w

Sabtu, 12 September 2015

Air Terjun Nyarai Lubuk Alung, Sumatera Barat

Air Terjun Nyarai
Lubuk Alung, Sumatera Barat


Air Terjun Nyarai

Kebetulan untuk kami yang bekerja di wilayah  ini, Udiklat Lubuk Alung atau biasa kami menyebutnya LA (spellingnya seperti LAnya-Los Angles) adalah tempat wajib untuk menimba ilmu dan atau sekedar refresh dari rutinitas kantor. Beberapa kali kesempatan sudah mampir, namun baru berkesempatan pada diklat kali ini bisa melipir ke Air Terjun Nyarai. Air terjun ini sebenarnya masih belum begitu populer. Karena menurut info masyarakat, baru di kenalkan kurang lebih sekitar tahun 2013. Tapi keeksotisanya saya yakin akan cepat membuatnya cepat tersebar. Bagaimana perjalanan kesana akan saya kasih beberapa teaser.
Gerbang Masuk




Untuk pengunjung yang menggunakan mobil pribadi, beberapa meter dari pintu gerbang ini terdapat areal parkir yang bisa menampung hingga 4-5 mobil. Saat ini pengelolaan memang masih dilakukan swadaya oleh masyarakat. Namun tidak perlu khawatir, menurut saya sudah cukup terorganisir sehingga memudahkan untuk pengunjung yang pertama kali datang kesini. Sebelum treking, kita diwajibkan melapor ke pusat informasi dan membayar sejummlah uang terlebh dahulu. Seingat saya sekitar 125k per rombongan. Dengan harga masuk ini, kita akan ditemani guide sampai dengan pergi dan pulang. Ketjeeh kan? :)
 
View Perjalanan#1
View Perjalanan#2

View Perjalanan#3

Treking kurang lebih 1.5 s.d 2 jam tergantung kondisi stamina dan mood selfie, selama perjalanan kita juga akan melewati beberapa spot yang menarik. Ada gumuk pasir (saya lupa nama spotnya), dan beberapa . Suasananya masih hutan. asri. rindang, sejuk, dan dikelilingi suara sungai. Beberapa kali juga kami berpapasan dengan rombongan keluarga muda yang membawa anak umur 3-4 tahunan. Memang dengan kondisi trek, kondisi alam, dan tingkat kesulitan, Nyarai Lubuk Alung memang spot ideal mengenalkan alam kepada anak. #AW

Santai
Santai
Santai
Gumuk Pasir








Senin, 15 Juni 2015

Backpack ke Flores - Wae Rebo


Flores - Wae Rebo
secuil surga di timur Indonesia [3]

Kampung Wae Rebo


Hari Ke Empat dan Ke Lima
Sengaja untuk Hari ke Empat dan Ke Lima, dirangkum dalam 1 posting tersendiri. Karena selain memakan waktu perjalanan hampir 2 hari, Wae Rebo  termasuk destinasi yang paling membuat penasaran dan mendapat tempat tersendiri untuk diulas. Itinerary dan perjalanan 4 hari pertama sudah diulas di post sebelumnya. 
Interior L300
Mejeng dulu dijalan :)
Rombongan keren ini mulai berangkat dari Labuan Bajo pukul 05.00 pagi. Dan sampai di Denge pukul 11.00 menggunakan kendaraan sewa jenis L300, Bp Marianus sebagai driver cukup tenang dan komunikatif selama perjalanan. Jangan bayangkan jalan antar kota disini semulus lintas jawa atau sumatera. Jalan menuju ke Denge selebar 1 jalur dan cukup menantang.  here the story begin :D

Wae Rebo

Rumah Tradisional Wae Rebo
Wae Rebo, mungkin tempat ini lebih dulu mendunia daripada mengindonesia. Menurut cerita, Kampung Wae Rebo justru lebih sering dikunjungi oleh warga asing. Baru pada tahun 2008, datanglah rombongan wisatawan dalam negeri pertama ke kampung ini. Kampung Wae Rebo terletak di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Kecamatan Satarmese Barat. Gunung-gunung tinggi yang mengelilinginya membuat desa ini terisolasi.

Homestay Bp Blasius
Sejak tahun 2010, setelah pemerintah mulai mengenalkan dan masyarakat semakin mengenal Wae Rebo menjadi tujuan wisata, kampong ini semakin ramai dikunjungi. Hanya saja untuk mencapai Wae Rebo, kita diharuskan menembus hutan sepanjang 9 km dari Denge, desa terdekat dari Wae Rebo. Dari Denge, kita bisa memulai perjalanan dari homestay milik Bp Blasius. Salah satu warga keturunan Wae Rebo yang berprofesi juga menjadi guru SD di Denge.  Dari homestay Bp Blasius, perjalanan sampai ke Wae Rebo memakan waktu kurang lebih 4 jam. Dengan dibagi dalam 3 pos. Untuk menginap di homestay milik Bp Blasius, biayanya 250rb semalam yang sudah termasuk sarapan dan makan malam.

Medan trek di 2,5 km pertama
Wefie di pos 1
Berbeda dengan treking di pulau-pulau sebelumnya, medan selama trek menuju wae rebo dikelilingi hutan tropis yang masih asri dan sekaligus menguras energi.
Di 2,5 km pertama, jalanan yang dilewati masih berupa batu-batu yang disusun rapi.
Wefie di pos 2
   
Jembatan menuju Wae Rebo

Melewati pos 1 hingga pos 2, medan yang dilewati adalah jalan tanah namun accessible. Karena jalur Wae Rebo - Denge adalah jalur rutin pulang pergi masyarakat Wae Rebo, maka jangan heran jika dalam perjalanan kita berpapasan dengan penduduk asli. Mereka terkenal sangat ramah. Jadi tidak perlu segan menyapa dan memperkenalkan diri. Biasanya, penduduk kampung Wae Rebo turun ke Denge di hari-hari pasar untuk  berjualan, atau ke puskesmas setempat untuk berobat.

Rumah Tamu
Suasana dalam Rumah
Bersiap tidur

Kurang lebih 3,5 jam waktu yang kami butuhkan untuk sampai di kampung Wae Rebo. Sekitar pukul 4 sore, Sesaat sesampainya disana, kami diharuskan terlebih dahulu melaksanakan upacara penyambutan. Bp Alex selaku tetua adat disana menerima kami di rumah utama dengan menggunakan bahasa Wae Rebo. Beliau menjelaskan, bahwa selaku tetua adat, beliau sudah meminta izin kepada para leluhur untuk menerima kami sebagai tamu dan sekaligus mengganggap kami sebagai putra Wae Rebo selama disini.

Keceriaan anak-anak
Main Bersama
Suasana diluar rumah masih ramai dengan suara teriakan anak-anak Wae Rebo yang sedang bermain. Kami pun menyempatkan bergabung dan berfoto bersama mereka. Rata-rata usia mereka masih di sekitar 5-8 tahun. Beberapa dari mereka bersekolah SD di Denge dan pulang sesekali waktu. Ditemani  kopi Wae Rebo dan diselimuti dingin hawa pegunungan, kami melewati malam ini dengan tidur nyenyak dibawah langit penuh bintang. 
Bp Alex
Menceritakan Wae Rebo
Didepan Rumahnya

Pagi itu sekitar pukul 05, kami sudah bergegas bangun untuk mendapatkan sunrise dari bukit kecil di atas kampung, tepat di komplek makam. Selain karena spot tersebut adalah spot terbaik untuk mendapatkan foto Wae Rebo, di malam itu ternyata datang beberapa group wisatawan yang jumlahnya cukup banyak. Mungkin saja karena longweekend, atau karena Wae Rebo memang sudah semakin terkenal diantara wisatawan-wisatawan dalam negeri. Dan betul, setelah beberapa saat rombongan lainpun bangun dan mencari spot lainnya.

Sarapan Pagi
Kawan Seperjalanan
Setelah menikmati sarapan dan segelas kopi Wae Rebo, kami bersiap turun dan melanjutkan perjalanan pulang. Wae Rebo dengan segala kesederhanaan keunikan dan keramahanya, memang betul-betul memanggil pulang putranya suatu hari nanti. Semoga ada kesempatan berkunjung kesana lagi. Semoga ..

Spider field @ cancar


Backpack ke Flores - Labuan Bajo

Flores - Labuan Bajo
Secuil surga di timur Indonesia [2]


Puncak Pulau Padar
Melanjutkan posting sebelumnya, di tulisan yang kedua dikupas tuntas spot yang kami kunjungi selama disana :D
Bandara Labuan Bajo #meta
Marathon snorkeling-treking-healthy and fun full day tour, gw menyebutnya. Karena kegiatan harian kami diisi dengan variasi sehat spot snorkling, sampe makan siang. Tidur siang sambil nunggu perjalanan spot snorkeling berikutnya. Dan sebagai penutup hari selalu diakhiri trekking dan sunset dengan bonus view yang luar biasa indah setelah sampai puncaknya. Memulai hari dengan sunrise dari dek kapal, kopi panas dan teman-teman luar biasa. Surga banget.

Hari Pertama

Pulau Kelor
Spot pertama sesampainya kami di bandara Labuan bajo dan langsung melanjutkan ke  dermaga dengan ongkos taxi 65ribu adalah pulau ini. Bertemu dengan 3 kapal lainya yang kebetulan bersamaan menepi disana, menurut gw Pulau Kelor adalah spot pembuka yang seru banget. istri memulai belajar snorklingnya disini, sebelum menjadi mahir di hari terahir :D

view pulau kelor
Pulau Rinca
Pulau ini termasuk habitat liar komodo-komodo di sini. Karena waktu kedatangan yang mepet, kami hanya menyempatkan snorkling di pinggiran pulau tanpa sempat treking. Di pulau ini memang tidak ada yang sempat berfoto. Tapi bisa keadaan bawah lautnya tidak kalah keren dari pulau  kelor.

view pulau rinca
Pulau Padar
Penutup hari pertama diakhiri dengan trekking dan sunset. Dan pulau padar adalah penutup hari yang sempurna untuk membuang lelah perjalanan. Untuk mencapai puncak, kita diharuskan trekking selama kurang lebih 30-45 menit. Pengaturan waktu pun harus pass, karena jika tidak, kita akan kehilangan view sunset yang Numero Uno.
Treking ke Puncak Pulau Padar

Sunset di Pulau Padar
Hari Kedua
Pink Beach
Pagi hari setelah sarapan di Pulau Padar, perjalanan dilanjutkan ke Pink Beach. Sebuah gugusan pulau kecil dengan pasir pantai berwarna pink.  Sebutan pink beach pernah gw denger di pantai-pantai lainyya seperti di Phuket atau di Sumatera Barat, namun dibandingkan dengan Pinknya pink beach di Labuan Bajo-Flores, Pink disini jauh lebih pink
[pict]

Pulau Komodo
Salah satu destinasi yang paling gw tunggu adalah Pulau ini. Mengapa tidak, konon katanya hanya di pulau Komodo yang terdapat dan menjadi habitat asli Komodo. Tidak ada lagi di belahan dunia manapun. Betapa luar biasanya alam Indonesia.
Komodo bukan Komedi
Welcome to Komodo National Park
Rusa Liar

Menepi di dermaga sekitar pukul 09.00 waktu setempat, kami diarahkan langsung melapor di pos ranger yang dikelola oleh Pemda dan warga setempat. Untuk memasuki lokasi ini, kita harus mengeluarkan biaya 50ribu per orang. Diluar tips yang diberikan kepada guide yang menemani.

Spesies Ular
Awal memasuki pulau Komodo, sudah langsung terlihat jika tempat ini sudah dikelola dengan baik. Penjual minum dan souvenir yang sudah terlokalisasi, dermaga yang dipercantik, lingkungan yang bersih, serta penginepan yang rapi dan baru dibangun disana melengkapi sarana akomodasi di Pulau Komodo. Istimewanya, keasriannya sebagai habitat asli Komodo tetap dijaga.

Bp Latif dan Bp. Rikard  Pemandu kami siang itu menyampaikan, untuk mengelilingi pulau ini ada 3 pilihan trek yang dapat dipilih pengunjung. Short Trek, Medium Atau Longtrek. Pilihan trek manapun tidak menjamin dapat bertemu dengan Komodo, Ranger menekankan. Karana bagaimanapun Komodo adalah hewan liar. Dan penekanan ini mungkin memang harus selalu disampaikan, agar pengunjung tidak terlalu berekspektasi tinggi dan tidak terlalu kecewa jika tidak bertemu dengan komodo selama trek nantinya karena mengetahui dari awal perjalanan.

Fregata Hill, via Medium Trek
Berbeda dari saat ini, dahulu saat populasinya masih sedikit, Komodo-komodo tidak berburu sendiri. Namun harus  diberi makan daging segar secara rutin sebagai upaya pelestarian. Itu kenapa menurut ranger yang menemani kami mengatakan, bahwa Komodo mitosnya sangat tertarik dengan warna merah yang identik dengan darah. Dan entah ini adalah sebuah kebetulan atau memang mitos itu terbukti benar, dalam perjalan medium trek yang kami pilih, luckly kami bertemu dengan seekor komodo berukuran besar yang tiba-tiba muncul dari sisi semak-semak sebelah kanan.

Komodo #ceisar
Komodo #ceisar
Sepanjang trek kami bertemu dengan beberapa grup lain. Dan grup keren ini cukup beruntung karena mungkin menjadi satu-satunya grup yang langsung bertemu dengan komodo siang itu. Selain komodo, kita juga dapat menemui spesies hewan liar lainya dan suguhan pemendangan-pemandangan yang eksotis.

Damn, I Love Indonesia !!

Gili Laba
Malam ini kami dijadwalkan menginap di Gili laba. Kurang lebih 3-4 jam perjalanan dari Pulau Komodo. 
View dari Puncak Gili Laba
Seperti biasa sebagai penutup hari, untuk mendapatkan view yang maksimal, lagi-lagi kami harus trekking. Namun berbeda dengan jalur di Pulau padar, gili laba terlihat terjal dan membutuhkan upaya lebih untuk sampai ke puncak. Jalur trek disini juga sepertinya dapat sekaligus mengelilingi pulau. Savana yang terlihat berwarna hijau kekuningan, ditambah view sunset di puncak bukit, dijamin membuat kita susah berpaling dari tempat ini.
Gili Laba
Jalur Treking
Treking ke Puncak



Hari Ketiga
Manta Point
Perjalanan Hari ketiga dan sekaligus hari terahir live on board di Labuan Bajo, spot pertama yang dikunjungi adalah manta point. Spot ini bukan terletak di gugusan pulau atau pantai seperti spot-spot sebelumnya, melainkan betul-betul terletak di laut lepas. Diberi nama manta point karena disini banyak terdapat spesies ikan Manta. Menurut beberapa literature, Manta termasuk keluarga ikan Pari dan masih sering terlihat di perairan dangkal. Di titik pertemuan pertama, kami masih belum bisa menemukan Manta. Tapi di spot kedua, yang lagi-lagi menjadi keberuntungan kami, beberapa ikan manta terlihat disini. Berikut gw post dari video @andy wiryanto yang sempat dive dan mengejar penampakan Manta.

Pulau Kanawa
Welcome to Kanawa. Seperti halnya Cubadak Paradiso di Sumatera Barat, Kanawa resort kabarnya juga dikelola oleh bule. Di tempat ini terdapat pavilion-paviliun kecil untuk pengunjung-pengunjung yang menginap. Hanya saja Kanawa resort dibebaskan untuk pengunjung yang ingin merapat. Tidak dipungut biaya. Dari beberapa spot snorkeling beberapa hari terahir, Kanawa termasuk yang memiliki view bawah laut yang terbaik.
Puncak Kanawa

pengunjung snorkeling
Finding Nemo #Andy Wiryanto
wefie di puncak kanawa
Pulau Bidadari
Adalah pulau terahir yang kami kunjungi sebagai spot snorkeling dan pemberhentian sebelum menepi ke dermaga. Kondisi alam bawah lautnya tidak kalah indah seperti halnya di pulau yang lain.
Bawah Laut Pulau Bidadari

Air yang masih jernih
Malam ini kami menginap di penginapan CF Komodo sebelum melanjutkan perjalanan ke Wae Rebo. Penginapannya bersih dan cukup nyaman untuk sekedar mengistirahatkan badan yang sudah mulai terasa pegal dan perih karena sengatan matahari.