Senin, 23 April 2012

Siklus Burung Elang

Elang adalah jenis unggas di dunia ini yang paling panjang umurnya. Elang bisa mencapai 70 tahun untuk satu masa siklus hidupnya.

Jika elang tersebut ingin hidup panjang umur, sewaktu dia mencapai umur 40 tahun, dia harus membuat suatu keputusan penting yang sulit. Ketika seekor elang hidup hingga mencapai umur 40 tahun, cakarnya sudah mulai menua, sudah tidak bisa lagi menangkap mangsanya dengan efektif. Paruhnya berubah menjadi panjang dan melengkung, yang hampir-hampir menyentuh di atas dadanya. Kedua sayapnya juga berubah menjadi sangat berat, karena bulunya tumbuh semakin panjang tebal dan lebat, yang membuat dia menjadi berat mengepakkan sayap untuk terbang.

Saat ini dia hanya punya dua pilihan: menunggu ajal tiba, atau menjalani proses menjadi muda kembali yang sangat menderita. “Pertapaan” panjang selama 150 hari. Elang itu harus berusaha mendaki ke puncak gunung, di atas tebing yang curam dia membangun sarangnya, dan berdiam di sana tidak boleh terbang.

Pertama elang itu harus mematukkan paruhnya ke atas batu karang, hingga paruh itu sama sekali terlepas dari mulutnya. Dia kemudian berdiam diri menunggu pertumbuhan paruh yang baru. Setelah paruh barunya tumbuh, dia akan menggunakan paruh itu untuk mencabut kuku-kukunya satu persatu. Setelah kuku-kuku barunya tumbuh, dia lalu mencabut bulunya satu demi satu. Lima bulan kemudian, setelah bulu barunya tumbuh sempurna. Elang itu mulai terbang kembali. Kehidupan baru ini akan membuat elang itu melanjukan kehidupannya selama 30 tahun lagi !

Di dalam kehidupan kita manusia, kadang kala kita diharuskan membuat suatu keputusan yang sangat sulit, sebagai proses untuk memulai kehidupan yang baru. Kita harus mencampakkan segala kebiasaan, dan tradisi lama, agar kita bisa terbang kembali. Asalkan kita mau melepaskan beban buntalan yang lama, bersedia mempelajari kemampuan teknik yang baru, kita akan bisa mengembangkan potensi kita yang masih belum kita ketahui, menciptakan masa depan yang baru!

Meskipun memutuskan suatu pilihan adalah suatu proses yang sangat menderita, tetapi jika kita melewatkan kesempatan yang sangat bagus di saat kita sedang menanti dan melihat, maka penyesalan yang akan diderita akan jauh lebih besar dari pada penderitaan saat Anda mengambil keputusan itu. Dari pada melewatkan hari-hari dalam lembah penyesalan dan penderitaan, lebih baik kita belajar seperti elang, yang mengalami proses kehidupan baru setelah melewati suatu penderitaan selama proses disintegrasi. Yang kita butuhkan dalam banyak kesempatan adalah, tekad dan keberanian merubah diri kita sendiri dan keteguhan hati untuk hidup kembali, seperti apa yang telah ditunjukkan oleh seekor burung elang. Selama kita berada pada jalur yang benar, maka semua penderitaan yang harus kita hadapi dan lewati itu hanyalah sebuah batu ujian untuk  bisa mencapai kondisi yang lebih baik, yang lebih mulia, dan merupakan suatu kondisi yang kita cari dan kita harapkan

http://www.epochtimes.co.id/kehidupan.php?id=135

Selasa, 17 April 2012

Harimu Adalah Hari Ini

Sunset @ParangTritis

Bukan kemarin, bukan besok. Hari kita adalah hari ini.

Dan apa yang kita lakukan hari ini adalah refleksi dr semua rencana kegiatan di hari yang lalu. idealnya emang mesti seperti itu. Tapi merencanakan semuanya berjalan ideal, tentu tidak mudah kan?? terkadang atau mungkin sering kali, rencana tidak selalu sejalan dengan harapan.

Buat dikasih kesempatan mampir sejenak di kehidupan ini, seharusnya bisa digunakan oleh manusia, especially gw sendiri sebesar-besarnya untuk bermanfaat bagi orang lain, terutama orang-orang terkasih di sekliling kita. Orang tua, adik kaka, sepupu, pacar, sahabat, dan semua orang yang peduli sama kita.

Mereka semua, gw yakin ga menuntut kita buat selalu menang dikehidupan ini. Mereka cuman berharap kita semua tidak menyerah. Tidak Menyerah !! itu saja.

Hidup itu sudah susah, jangan mendramatisir untuk punya alasan tidak bisa menikmati hidup. 


Hidup itu bukan panggung sandiwara tapi lantai pesta.

Nikmati hidup kita, seperti kita akan meninggalkan semua kehidupan ini esok. Bukanya Tuhan memang berjanji, buat selalu ngasih pelangi setalah hujan?

just enjoy & never give up,,

#AW

Selasa, 10 April 2012

Dua Bata Jelek

Setelah kami membeli tanah untuk vihara kami di tahun 1983, kami kehabisan uang. Kami berhutang. Belum ada bangunan di atas tanah, gubuk pun tidak. Pada minggu-minggu pertama, kami tidur di atas pintu tua yang dibeli dengan murah dari tempat loak; kami menaruhnya di atas tumpukan batu bata di setiap sudutnya untuk meninggikan posisinya di atas tanah. (Tidak ada matras, tentunya kami adalah bhikkhu hutan).
 
Kepala vihara mempunyai pintu terbaik, yang rata. Pintu saya bergelombang dengan lubang di tengahnya tempat pegangan pintu. Saya senang karena pegangan pintunya telah dicopot, tapi itu meninggalkan sebuah lubang di tengah-tengah pintu pembaringan saya. Saya bercanda dengan mengatakan sekarang saya tidak perlu meninggalkan pembaringan untuk ke toilet! Namun sejujurnya, angin dingin masuk melalui lubang tersebut. Saya tidak bisa tidur beberapa malam itu.
Kami hanyalah bhikkhu miskin yang membutuhkan bangunan. Kami tidak bisa membayar tukang, bahan-bahan bangunannya sudah cukup mahal. Jadi saya belajar untuk bertukang: bagaimana menyiapkan fondasi, menyemen dengan batu bata, membangun atap, langit-langit semuanya. Saya dulunya ahli fisika teoritis dan guru sekolah tinggi (SMU) sewaktu masih umat awam, tidak terbiasa kerja kasar. Setelah beberapa tahun, saya sudah cukup mahir dalam bertukang, bahkan saya menyebut rekan-rekan bhikkhu sebagai BBC (Buddhist Building Company – Perusahaan Bangunan Buddhis, pent). Tapi saat saya memulainya, pekerjaan itu sangat sulit. Kelihatannya memang mudah untuk menembok dengan sebuah batu bata: seonggok semen di bawah, ketok sini, ketok sana. Sewaktu saya mencoba melakukannya, saya ketok satu sisi untuk meratakannya, sisi yang lain jadi menaik. Lalu saya ketok sisi tersebut, batu batanya tidak lagi lurus. Setelah saya ratakan kembali, sisi yang pertama kembali menjadi terlalu tinggi. Coba saja sendiri!

Sebagai bhikkhu, saya mempunyai kesabaran dan waktu yang banyak, sebanyak yang saya butuhkan. Saya pastikan setiap batu bata terpasang sempurna, tidak perduli berapa lamanya saya bekerja. Akhirnya, saya menyelesaikan tembok saya yang pertama dan berdiri di depan untuk mengaguminya. Saat itulah saya menyadari celaka! saya melupakan dua batu bata. Semua batu bata terpasang sempurna dengan lurus, tapi yang dua ini terpasang miring. Kelihatan sangat jelek. Merusak pemandangan ke seluruh tembok. Kelihatan kacau.

Saat itu, semennya sudah mengeras, tidak bisa lagi mencabut dua batu bata tersebut, maka saya bertanya kepada kepala vihara apakah saya bisa merobohkan saja dinding tersebut dan memulai dari awal kalau perlu, meledakkannya. Saya membuat kesalahan dan sangat malu. Kepala vihara berkata tidak perlu, temboknya dibiarkan saja. Sewaktu saya mengajak pengunjung pertama untuk melihat-lihat pembangunan vihara, saya selalu berusaha mencoba menghindari mereka untuk melihat tembok tersebut. Saya tidak suka orang-orang melihatnya. Pada suatu hari, sekitar tiga atau empat bulan setelah saya membuat tembok tersebut, saya mengantarkan seorang pengunjung dan dia melihatnya. “Tembok yang indah,” katanya dengan santai. “Pak,” saya menjawab dengan kaget, “Apakah kacamata anda ketinggalan di mobil? Apakah mata anda tidak beres? Tidakkah anda melihat dua batu bata yang merusak keseluruhan tembok itu?”

Apa yang dikatakannya kemudian mengubah sudut pandang saya secara keseluruhan mengenai tembok itu, mengenai diri saya dan mengenai berbagai aspek-aspek lain mengenai hidup. Dia berkata, “Ya. Saya bisa melihat dua batu bata miring itu. Tapi saya juga melihat 998 batu bata yang terpasang sempurna di sini.”

Saya tersadar. Untuk pertama kalinya dalam tiga bulan ini, saya bisa “melihat” batu bata-batu bata yang lain, selain dua batu bata tersebut. Di atas, bawah, kiri dan kanan batubata tersebut adalah batu bata yang terpasang dengan baik, sempurna. Lagipula, batu bata yang terpasang sempurna jauh lebih, lebih banyak daripada dua batu bata yang jelek tadi. Sebelumnya, mata saya akan berfokus hanya kepada dua kesalahan tadi. Saya menjadi buta terhadap hal-hal lainnya.

Itulah sebabnya mengapa saya tidak tahan melihat tembok itu, atau memperlihatkannya kepada orang lain. Itulah sebabnya mengapa saya ingin menghancurkannya.
 
Sekarang saya dapat melihat batu bata lain yang baik, temboknya juga tidaklah terlalu jelek. Buktinya satu pengunjung berkata, “Tembok yang indah”. Tembok itu masih ada di sana sampai sekarang, dua puluh tahun kemudian, tapi saya sudah lupa di mana tepatnya kedua batu bata yang terpasang miring itu. Saya benar-benar tidak dapat melihatnya lagi. Berapa orang yang mengakhiri hubungan cinta atau bahkan bercerai karena apa yang mereka lihat pada pasangannya hanyalah “dua batu bata jelek” Berapa banyak yang menjadi depresi bahkan melakukan bunuh diri, karena yang bisa mereka lihat pada dirinya hanyalah “dua batu bata jelek”. Sebenarnya, ada banyak, banyak sekali batu bata baik yang terpasang sempurna di atas, bawah, kiri dan kanannya tapi seringkali kita tidak bisa melihatnya. Namun, setiap kali kita memandang, mata kita hanya berfokus pada kesalahan. Hanya kesalahan yang terlihat, dan kita merasa hanya kesalahan yang ada, maka kita ingin untuk menghancurkan nya. Dan kadang, menyedihkan, kita benar-benar menghancurkan “tembok yang indah” tersebut.

Kita semua memiliki dua batu bata jelek, tapi batu bata-batu bata yang terpasang sempurna di diri kita jauh lebih banyak daripada kesalahannya. Sekali kita bisa melihat ini, keadaan sebenarnya tidaklah terlihat terlalu buruk. Tidak hanya kita bisa berdamai dengan diri sendiri, termasuk dengan kesalahan-kesalahan kita, namun kita juga bisa menikmati hidup bersama dengan pasangan. Mungkin ini adalah kabar buruk bagi pengacara peceraian, tapi ini adalah kabar baik bagi anda. Saya telah menceritakan hal ini berkali-kali. Pada suatu kesempatan, seorang pekerja bangunan datang dan menceritakan sebuah rahasia profesinya. “Kami pekerja bangunan selalu membuat kesalahan,” katanya, “tapi kami mengatakan kepada klien bahwa ini adalah ‘fitur unik’ yang tidak terdapat di rumah lain pada perumahan yang sejenis. Dan kami menagih bayaran extra ribuan dollar untuk itu!”

Jadi ‘fitur unik’ di rumah anda mungkin berawal dari sebuah kesalahan. Sama halnya, apa yang anda sangka sebagai kesalahan pada diri anda, pasangan anda, atau dalam hidup secara umum, dapat menjadi ‘fitur unik’, memperkaya waktu anda di sini, sewaktu anda berhenti berfokus padanya.
#Dua Bata Jelek
Ajahn Brahm