Kamis, 14 Februari 2013

Betapa Sayangnya "Sayang"

“Cowok itu ganteng sih, baik pula, sayang penampilannya nggak banget”
“Dia pintar dan cantik, sayang ngerokok”
“Sebenernya  dia udah suka sama gw, siap nikah pula, sayang dia kalo ngomong agak gagap”
Pasti udah sering deh denger kalimat di atas, dalam berbagai variasinya, iya kan? Formulanya biasanya:
(Sederet sifat baik yang menjadikan seseorang potensial jadi pacar/suami/istri) + sayang + (satu dua sifat jelek yang membuyarkan segalanya)

Posting ini terinspirasi twitter @louisajhe tadi pagi: “Just found out that handsome-elevator-dude is an active smoker :’(“ Jadi rupanya ada cowok kecengan yang selama ini di-ilerin di lift, jadi buyar karena ketauan merokok (Hi Jessica, kalo elu baca ini, maaf gw quote tanpa ijin :p)
Kayaknya inilah kodrat manusia, yang selalu mencari pasangan sempurna, sayang pencarian ini sering rontok karena ada ‘sayang’ dalam menilai seseorang :D

Tentunya gw bukannya tidak setuju bahwa seseorang harus punya kriteria dalam memilih pasangan, apalagi kalau sudah menjelang serius. Kita semua berhak mendapatkan seseorang berkualitas, dan yang cocok dengan kita. Mungkin masalahnya adalah ketika daftar kriteria kita tidak membedakan mana yang sifatnya “wajib” (must have), dan mana yang bisa dikompromikan (nice to have).
Soalnya kalau nguber Mr.  dan Ms. Perfect yang memenuhi semua kriteria yang diinginkan, agak susah ya probabilitanya, apalagi kalo kriterianya semakin spesifik (“Gw hanya mau cowok yang bisa bikin 1000 candi dalam semalem”, misalnya) Ya bisa aja sih ketemu in real life, tapi seberapa besar peluangnya?

Gw pernah baca di buku “The Paradox of Choice” oleh Barry Schwartz, bahwa ada dua jenis manusia. Yang satu disebut “Maximizers”, yang satu lagi “Satisficers”. Maximizers beranggapan bahwa dalam mendapatkan segala sesuatu (dari setrikaan, rumah, sampai pacar) mereka harus mendapatkan yang TERBAIK (maksimum), dan ini berarti melakukan proses pencarian yang lebih niat dan ketat, untuk mendapatkan hasil akhir terbaik. Satisficers, di sisi lain, juga melakukan usaha mencari dan punya kriteria, tetapi tidak merasa perlu ngotot. Ketika mereka mendapatkan apa yang dirasakan “cukup baik”, ya sudah, berhenti mencari dan happy dengan yang didapat.

Berdasarkan studi yang dikutip di buku itu, Maximizers mungkin akhirnya MEMANG mendapatkan barang/orang yang TERBAIK. Tetapi proses pencarian yang begitu melelahkan akhirnya membuat kenikmatan akhir menjadi berkurang, dan akhirnya tidak terlalu happy. Satisficers yang tidak terlalu ngoyo mendapatkan yang “less”, tetapi kebahagiaan akhirnya malah lebih tinggi. Kurang lebih formulanya adalah:
Kebahagiaan akhir dari mendapatkan sesuatu = Nilai dari obyek yang diperoleh – Jerih Payah untuk mendapatkannya

Bayangkan skenario mencari LCD TV. Si Maximizer meneliti dan mencoba 100 model TV untuk mendapatkan yang terbaik, dan akhirnya sesudah itu memang mendapatkan TV sempurna bernilai “10”. Satisficer mungkin hanya mencoba 15 TV, dan cukup hepi mendapatkan TV bernilai “7/8”. Pada akhirnya, si Satisficer malah mungkin lebih hepi dan puas dengan TV-nya, karena tidak selelah si Maximizer.
Kembali ke pencarian pacar. Mencari Mr./Ms. Perfect juga tentunya lebih melelahkan dan panjang (walaupun mungkin ada beberapa yang hokkie langsung dapet :D ), tetapi sayang juga kalau pengejaran Mr./Ms. Perfect ini malah mengorbankan Mr./Ms. Very Good yang sudah ada di depan mata…. :D

dicopy paste dari buku Cinta [Tidak Harus] Mati, Henry Manampiring

menghormati 14/02 yang bagi sebagian orang adalah hari kasih sayang, buat saya hari ini adalah hari mendedikasikan diri posting tulisan-tulisan cinta. Melow banget kan? :D

beberpa post kedepan khusus hari ini, yang sudah saya baca dari beberapa artikel, sekaligus bisa menambah perbendaharaan kamus kisah cinta kita semua :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar