Biasanya kalo udah ngomongin cinta, semua hal didalamnya emang pasti bikin buta. Mau orang lain bilang itu tai kucing, pasti akan selalu berasa coklat. Dan kalo memang kita mengartikan cinta adalah rasa menggebu-gebu, keringat dingin, deg-degan,
susah tidur, romantic dinner dengan lilin,
berpandang2an semalaman, dan buket bunga mawar, maka cinta
harus mati. Dan akan mati.
Tahap “infatuation”, “passionate love”, atau saat-saat awal manusia jatuh
cinta dan tergila-gila, secara neuroscience tidak ada bedanya dengan
kondisi “high on drugs”. Otak kita dibanjiri hormon-hormon yang memberi
rasa senang melayang. Tidak ada bedanya mungkin dengan efek narkoba.
Masalahnya yang namanya “high” itu tidak
bisa dipertahankan terus2an secara perspektif medis. Otak harus kembali
ke equilibriumnya. Di buku “Happiness Hypothesis” oleh Jonathan Haidt
disebutkan, saat passionate love padam, di sinilah tragedi cinta sering
terjadi. Karena kita kemudian mengira “high” itulah keadaan cinta sejati. Dan
hilangnya “high” itu membuat kita mengira cinta sudah mati. Untuk
selamanya. Dan kemudian kita mencari cinta baru yang bisa memberikan
“high” itu.
Cinta memang harus mati. Karena dia harus memberi tempat untuk
lahirnya sang pengganti, yaitu cinta lain yang tidak memabukkan, tetapi
memberi rasa tentram, aman, dan “companionship” (gak ada kata yang tepat
untuk menterjemahkan “companionship”, karena ‘pertemanan’ dan
‘persahabatan’ juga kurang pas. Kalo gw boleh bikin kata sendiri, yang
pas itu ‘perpendampingan’, dari kata ‘pendamping’)
Dan dalam cinta fase kedua inilah, menurut Jonathan Haidt, sebuah
hubungan menjadi lebih tahan lama, dan membahagiakan. Dalam
perpendampingan sudah tidak ada mabuk atau “high” yang ‘seru’ seperti di
film-film romantis, dan ia menjadi ekuilibrium itu sendiri.
‘Cinta’ memang harus mati. Masalahnya, apakah kita sabar menantikan reinkarnasinya.
disadur dari buku Cinta [Tidak Harus] Mati, Henry Manampiring
Tidak ada komentar:
Posting Komentar