Kamis, 14 Februari 2013

Cinta [Tak Harus] Mati

Biasanya kalo udah ngomongin cinta, semua hal didalamnya emang pasti bikin buta. Mau orang lain bilang itu tai kucing, pasti akan selalu berasa coklat. Dan kalo memang kita mengartikan cinta adalah rasa menggebu-gebu, keringat dingin, deg-degan, susah tidur, romantic dinner dengan lilin, berpandang2an semalaman, dan buket bunga mawar, maka cinta harus mati. Dan akan mati.

Tahap “infatuation”, “passionate love”, atau saat-saat awal manusia jatuh cinta dan tergila-gila, secara neuroscience tidak ada bedanya dengan kondisi “high on drugs”. Otak kita dibanjiri hormon-hormon yang memberi rasa senang melayang. Tidak ada bedanya mungkin dengan efek narkoba. Masalahnya yang namanya “high” itu tidak bisa dipertahankan terus2an secara perspektif medis. Otak harus kembali ke equilibriumnya. Di buku “Happiness Hypothesis” oleh Jonathan Haidt disebutkan, saat passionate love padam, di sinilah tragedi cinta sering terjadi. Karena kita kemudian mengira “high” itulah keadaan cinta sejati. Dan hilangnya “high” itu membuat kita mengira cinta sudah mati. Untuk selamanya. Dan kemudian kita mencari cinta baru yang bisa memberikan “high” itu.

Cinta memang harus mati. Karena dia harus memberi tempat untuk lahirnya sang pengganti, yaitu cinta lain yang tidak memabukkan, tetapi memberi rasa tentram, aman, dan “companionship” (gak ada kata yang tepat untuk menterjemahkan “companionship”, karena ‘pertemanan’ dan ‘persahabatan’ juga kurang pas. Kalo gw boleh bikin kata sendiri, yang pas itu ‘perpendampingan’, dari kata ‘pendamping’)
Dan dalam cinta fase kedua inilah, menurut Jonathan Haidt, sebuah hubungan menjadi lebih tahan lama, dan membahagiakan. Dalam perpendampingan sudah tidak ada mabuk atau “high” yang ‘seru’ seperti di film-film romantis, dan ia menjadi ekuilibrium itu sendiri.
  
‘Cinta’ memang harus mati. Masalahnya, apakah kita sabar menantikan reinkarnasinya.

disadur dari buku Cinta [Tidak Harus] Mati, Henry Manampiring


Tidak ada komentar:

Posting Komentar